Sabtu, 26 September 2009

KEBERAGAMAAN DI ERA INFORMASI

KEBERAGAMAAN DI ERA INFORMASI

I. PENDAHULUAN

Banyak sarjana kini berhujjah bahwa Abad Informasi (Era Informasi.pen.) bukannya meningkatkan pengendalian kita atas kehidupan kita, tapi pada kenyataannya justru menghasilkan efek sebaliknya. Informasi yang semakin meningkat, serta upaya individu-individu dan lembaga-lembaga untuk semakin meningkatkan pengendalian atas masyarakat, secara mengejutkan justru menghasilkan kemudaratan...Pesan pokok yang hendak saya sampaikan adalah: kita harus bisa memahami manfaat dan mudarat teknologi informasi, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan 'kita', dan bukan tujuan-tujaun 'mereka' - para pembuat dan pencipta teknologi itu (Sardar, 1988: 15 - 17)

Demikian pesan Ziauddin Sardar pada bagian awal dari bukunya yang berjudul "Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-first Century" yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul"Tantangan Dunia Iskam Abad 21, Menjangkau Informasi".

Era Informasi nampaknya akan memberikan kesibukan ekstra bagi para da'i dalam upaya membina ummatnya, karena banyak persoalan yang musti tidak bisa dielakkan untuk diselesaikan. Akan tetapi, kedatangan Era Informasi tidak hanya sebagai suatu keadaan yang akan cukup [1]mengancam bagi kelangsungan dakwah. Kalau kita mau menelaah dan bekerja keras, kedatangan Era Informasi sebenarnya merupakan peluang bagi pengembangan dakwah. Sudah barang tentu kalau kita para da'i mau dan siap mengisinya. Bagaimana bisa demikian ? Uraian berikut ini akan mencoba menganalisis apa yang akan terjadi dalam Era Informasi dan sekaligus akan mencari kemungkinan-kemungkinan jalan pemecahannya.

II. ERA INFORMASI

Ada beberapa tokoh yang mencoba membagi perkembangan asyarakat kepada tiga tahap perkembangan, walaupun dengan istilah yang agak berbeda. Daniel Bell, misalnya, dalam bukunya The Coming of Post Industrial Society, membagi tahapan-tahapan itu kepada: Pra industri (pertanian), Industrialisme dan Pasca industri, di mana pada tahap terkhir ini kegiatan ekonomi bersumber pada tehnologi intelektual dan pemberian jasa. Umesao dari Universitas Kyoto membaginya kepada tiga kategori: Agrikultural, Material dan Industrial spiritual. Dalam tahapan ketiga ini dia menjelaskan bahwa, kegiatan yang ada dikuasai oleh pengetahuan dan informasi serta aktivitas kultural lainnya. Sedangkan Alvin Toffler membagi tahap perkembangan masyarakat kepada tiga gelombang, seperti yang ditulis dalam bukunya "The Third Wave". Gelombang pertama Tahap Agrikultural, gelombang kedua Tahap Industrial, gelombang ketiga Tahap Informasi. Pada Era Informasi yang menjadi ukuran kekuasaan bukan lagi sumber daya alam, atau pemilikan alat produksi yang berupa tehnologi melainkan informasi sebagai kekuatan utama (Malik, 1989: 162 - 163).

Era Informasi yang juga disebut dengan abad informasi adalah suatu masa di mana "semua bidang kehidupan akan semakin tergantung kepada informasi" (Muis, 1989: 12). Orang yang hidup pada masa itu disebut masyarakat informasi, yang kegiatan utamanya tertumpu pada tehnologi informasi yang merupakan tehnologi intelektual. Dalam melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan yang sudah diolah, tehnologi telekomunikasi dan komputer memegang peranan strategis dan kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informasi ini. Kehidupan mereka hampir seluruhnya tertumpu pada pengetahuan, penggunaan pikiran, bukan pada otot. Kemudian, suatu saat akan muncul suatu kelas baru yang akan menguasai mayarakat yang dinamakan masyarakat informasi itu, yang ciri-cirinya telah dipaparkan di atas (Malik, 1989: 162)

Kalau dalam Gelombang Pertama, secara alamiah orang tertumpu pada bagaimana mencari makan ,maka pertanian dan sejenisnya cukup menjadi orientasi dari seluruh aktivitas manusia. Pada Gelombang Kedua telah melipat-gandakan jumlah saluran yang ada guna mencari kemungkinan seseorang mendapatkan gambaran tentang realitas secara lebih luas. Si anak sudah tidak lagi menerima imajinasinya dari alam sekitarnya saja atau dari orang-orang yang dekat padanya, tetapi dari surat kabar, majalah massa, radio, dan kemudian dari televisi (Toffler, 1990: 4)

Citra yang diproduksi secara terpusat itu dipompa ke dalam ingatan massa secara besar-besaran oleh media massa dan hal ini telah ikut membantu terciptanya standarisasi dalam prilaku manusia yang diperlukan sistem produksi industri.

Informasi baru sampai pada kita, dan kita terus didorong untuk terus memperoleh informasi sebanyak-banyaknya untuk mengganti informasi lama yang ada dan upaya ini semakin lama semakin cepat. Manakala tidak dilakukan, maka setiap tindakan dan perbuatan kita akan terpisah dari kenyataan, dan kita semakin tidak mungkin mengadakan penyesuaian diri dengan yang lama (Toffler, 1990: 5) Keadaan ini membuat di antara kita semakin berbeda-beda dan kurang seragam dalam hal pendapat (opini) manusia tentang masalah apa saja, dari musik pop sampai politik. Persetujuan dan apa yang telah disepakati bersama, buyar berantakan. Pada tingkat perorangan kita semua dikepung dan diserbu berbagai kepingan citra yang saling bertentangan, yang tidak terkait satu sama lainnya, bagaikan serpihan-serpihan yang berserakan, atau seperti bintik-bintik kecil yang tampak pada layar radar (blip), dan ini akan cukup mengguncang ide-ide lama kita.

Dalam budaya baru semacam ini, kita akan cukup dapat melihat dengan jelas perbedaan yang semakin besar antara pemakai media Gelombang Kedua dan Gelombang Ketiga. Penduduk masyarakat Gelombang Kedua, yang masih mendambakan kepastian nilai-nilai moral dan edeologi masa lalu yang sudah tersedia itu, merasa terganggu dan dibingungkan oleh arus informasi yang menyerbu kita itu (Toffler, 1990: 16).

III. TANTANGAN YANG DIHADAPI

Masyarakat informasi dalam menata hidupnya sangat beergantung kepada informasi sekaligus perilkau mereka sangat ditentukan oleh informasi yang mereka terima. Dalam keadaan yang demikian Era Informasi merupakan ancaman bagi uapaya pengem-bangan dakwah.

Dakwah yang selama ini dan yang direncanakan mendatang akan banyak mengalami hambatan dan kesulitan, karena cukup banyak informasi yang hadir di tengan ummat sudah tidak sesuai dengan cita-cita dakwah. Dakwah menghendaki ketaqwaan, informasi yang muncul justru membuat masyarakat jauh dari taqwa. Informasi hadir menjanjikan banyak harapan bagi masyarakat banyak. Dalam kenyataan ia hanya sampai kepada kesejahteraan semata yang diliputi dengan pemenuhan hal-hal yang bersifat material - kalau tidak anya tinggal impian belaka - sementara ketentramana batiniyah, sedikitpun tidak mereka dapatkan, bahkan ketidak seimbangan ini telah menambah beban baru yang cukup terkomulatif dalam bentuk stres dan penyakit mental lainya. Sudah barang tentu Era Informasi yang menciptakan masyarakat terindividualisasi sangat mendukung untuk munculnya penyakit yang serupa, belum lagi munculnya perilaku-perilaku menyim-pang seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan yang sejenis.

Dalam Era Informasi, informasi yang ada cukup mendominasi dan menentukan kehidupan manusia. Sementara kita ketahui bahwa hampir dapat dikatakan sebagian besar informasi yang ada datang dari negara-negara Barat, yang nota bene bukan negara Islam. Sembilan puluh persen berita, film, siaran TV dan berita lainnya dikuasai Barat. Tidaklah sulit untuk mengetahui keadaan yang semacam itu. Kita lihat contoh yang sederhana, misalnya pemutaran film Barat di gedung bioskop maupun di TV RI lebih-lebih di TV suasta, baik acara yang dirancang untuk konsumsi orang tua, remaja, maupun untuk konsumsi anak-anak. Kehadiran produk Barat itu tidak hanya terbatas pada film-film cerita, tetapi juga dalam bentuk program lain seperti musik, mode dan produk lain yang cukup bervariasi. Kondisi yang semacam ini akan berakibat munculnya dominasi budaya asing di atas budaya bangsa sendiri. Masyarakat lebih banyak melihat kehidupan orang dan masyarakat Barat dari pada melihat bagaimana orang dan masyarakat kita sendiri hidup dalam kesehariannya.

Apa yang ditampilkan dalam program mereka adalah kehidupan nyata mereka yang secara nyata, kebanyakan, jauh lebih maju, lebih indah, nampak lebih beradab dalam mana hal semacam itu memang dengan sengaja ditonjolkan. Sementara pemberitaan mengenai negera-negera non-Barat khususnya negera dunia ketiga, beritanya banyak berkisar tentang kelaparan, pemukiman kumuh, bencana alam dan yang sejenisnya. Akhirnya terjadilah pemujaan besar-besaran terhadap setiap produk budaya Barat. Sementara bangsa kita sendiri dicitrakan sebagai negara miskin, terbelakang, sarat dengan bencana dan kelaparan.

Dari sini kemudian muncul kecendrungan di kalangan masyarakat kita untuk mengejar dan memuja Barat. Sistem nilai, ideologi dan metodologi Barat telah menjadi rujukan dalam upaya memecahkan persoalan yang ada dalam masyarakatnya. Sementara Islam sudah mulai dipandang hanya sebagai ritual belaka (Malik, 1989: 165 - 167).

IV. MENGANTISIPASI KEADAAN

Dakwah merupakan komunikasi ajaran-ajaran Islam dari seorang da'i kepada ummat manusia. Pada pelaksanaan dakwah, di dalamnya terjadi proses komunikasi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa setiap proses dakwah adalah komunikasi; akan tetapi tidak setiap proses komunikasi adalah dakwah. Adapun yang menjadi titik perbedaan adalah terletak pada isi dan orientasi pada keduanya.

Pada komunikasi, isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran agama, sementara orientasi pesannya adalah pada pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri yaitu timbulnya efek atau hasil yang berupa perubahan perilaku. Sedangkan pada dakwah isi pesnnya jelas berupa ajaran agama Islam dan orientasinya adalah pada penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam.

Pada tulisan ini penulis akan melihat dakwah sebagai proses komunikasi, dengan tidak meninggalkan kekhasan yang ada dalam aktivitas dakwah terutama dalam metode. Oleh karena itu banyak teori-teori komunikasi tetap dipakai selama tidak bertentangan dengan konsep dakwah, dan teori itu sedapat mungkin dipadukan dengan konsep yang ada dalam dakwah. Kemudian berikut ini beberapa alternatif yang harus diupayakan dalam pengembangan dakwah sehubngan dengan kondisi yang ada dalam Era Informasi.

1. Meratakan Informasi

Kalau dalam uraian sebelumnya dikatakan bahwa Era Informasi merupakan ancaman bagi uapaya pengembangan dakwah, karena Era Informasi telah membuat ummat sangat bergntung kepada informasi yang ada sekaligus mereka mulai meninggalkan norma lama (agama) yang ada, maka Era Informasi ini sebenarnya dapat merupakan peluang. Bagaimana tidak ? Keadaan ummat yang sudah mulai cendrung bergantung kepada informasi, hal ini harus kita manfaatkan. Bukankah aktivitas dakwah adalah merupakan penyampaian informasi (pesan) agama Islam. Kalau kehidupam ummat bergantung dan ditentukan oleh informasi, sementara informasi yang ada adalah berupa informasi agama yang siap membawa ummat ke jalan yang diridlai Allah, kenapa yang demikian akan dikatakan sebagai ancaman bagi pengembangan aktivitas dakwah ?

Bila demikian halnya, maka jelas Era Informasi merupakan peluang bagi da'i untuk mengelindingkan aktivitas dakwahnya. Peluang ini bukan sekedar hanya karena kehidupan manusia yang bergantung dan ditentukan oleh informasi yang ada, tetapi karena sifat informasi itu sendiri yang mendunia, menggelobal, yang karena inilah kemudian kita kenal juga dengan Era Globalisasi, dan globalisasi informasi termasuk di dalamnya. Situasi yang demikian ini merupakan kesempatan bagi para da'i untuk dapat menyampaikan pesan-pesan dakwahnya ke seantario dunia.

Firman Allah pada surat Sabaa ayat 27, menjelaskan bahwa: "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS, 34: 27). Seorang da'i wajib menyampaikan berita gembira itu. Apabila tugas ini telah dilakukan sepenuhnya , seluruh manusia tentu akan menerima Islam itu dengan senang hati. Tetapi karena kebanyakan manusia mengetahuinya tidak banyak dan tidak tuntas (kaffah) tentang kegembiraan apa yang musti diperoleh dari Islam, maka yang terjadi manusia tidak atau kurang tertarik kepada Islam. Nah, dengan Era Informasi yang mendunia ini perlu bagi para da'i untuk memanfaatkannya. Untuk itu kemauan dan kerja keras harus diwujudkan.

Apa yang telah diraikan di atas ini, adalah merupakan upaya menyebarkan pesan-pesan Islam ke suluruh ummat manusia, baik untuk kalangan ummat Islam maupun untuk kalangan ummat di luar Islam. Hanya saja upaya ini lebih banyak mengarah kepada ummat di luar Islam. Kemudian ada bentuk upaya lain yang dilakukan dalam rangka meratakan informasi tentang Islam yang khusus dilakukan untuk ke dalam, kepada ummat Islam sendiri.

Dalam sebuah Hadits disebutkan:"Annu'man bin Basyuier r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Anda akan melihat kaum mu'minin dalam kasih sayang, cinta menyintai dan pergaulan mereka bagaikan satu badan (tubuh, pen.). Jika satu anggotanya sakit maka menjalar kepada lain-lain anggota sehingga terasa panas dan tidak dapat tidur (Bukhori - Muslim)" (Baqi, 1982: 993).

Manakala kaum mukmin diibaratkan satu tubuh, maka dengan adanya salah seorang anggota kaum mukmin yang sakit, anggota kaum mukmin yang lain akan ikut merasakannya. "Nah, jika kita juga menganggap Dunia Muslim sebagai satu tubuh, yaitu sebuah sistem holistik, maka kita tahu bahwa setiap kegitan tubuh itu harus dikoor-dinasikan. Kita juga tahu bahwa setiap kegiatan yang dikoordinasikan membutuhkan arus informasi yang menjangkau bagian-bagian yang terkoordinasikan itu" Demikian Ziauddi Sardar (1988: 129) membuat padanan Dunia Muslim dengan kaum mukmin yang harus sebagai satu tubuh, seperti yang dilukiskan dalam Hadits di atas.

Kemudian apa yang harus kita lakukan sehubungan dengan kerangka Dunia Muslim yang seperti itu ? Dalam hal ini diperlukan penyebarn informasi yang bebas dan merata ke seluruh Dunia Muslim tentang keadaan kita, tentang aktivitas kita, termasuk tentang segala persoalan dan tantangan yang sedang kita hadapi. Langkah ini, akhirnya akan bergantung kepada kecakapan kita dalam mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan itu.

Jika ternyata ada bagian, Dunia Muslim, yang nampak kurang terjalin lantaran arus informasi yang tidak merata, maka kita harus segera menyeimbangkan kembali. Berbagai persoalan dan keberhasilan dalam negara muslim harus diketahui oleh negeara muslim yang lain sehingga kita bisa mencontoh keberhasilan yang dicapai dan dapat ikut bersama-sama menyelesaikan persoalan yang ada. Arus informasi yang merata sangat berperan dan sekaligus dibutuhkan untuk itu. Sebab, selain untuk mengembangkan koreksi diri, arus informasi yang bebas akan cukup membantu tumbuhnya sistem-sistem holistik yang interaktif secara pesat, sekaligus akan terhindar dari adanya satu bagian sistem yang mengendalikan secara sepihak terhadap bagian-bagian lainnya. Dari keadaan yang demikian pada akhirnya akan menumbuhkan sebuah struktur keputusan serta penciptaan dan pemeliharaan tatanan dan organisasi di dalam sebuah masyarakat (Sardar, 1988: 130 - 131).

Mekanisme ini, sebenarnya tidak hanya berlaku dalam suatu Dunia Muslim, yang berarti antar negara Islam, misalnya, tetapi juga berlaku bagi masyarakat dalam suatu negara Islam bahkan masyaakat terkecil sekalipun. Kasus tetangga Islam yang beralih agama, merupakan contoh kongkrit di mana di dalamnya tidak terjadi komunikasi yang intensif di antara kita.

2. Menciptakan Informasi

Satu hal yang harus disadari, dari perspektif Islam, adalah bahwa informasi akan mempunyai arti dan memberikan sumbangan yang positif bagi masyarakat hanya apabila informasi itu berada dalam kerangka pengetahuan tentang masyarakat dan sekaligus selaras dengan aspek-aspek mutlak, substansional, kultural dan subyektif suatu masyarakat yang akan dituju.

Hal yang semacam inilah yang cukup disadari olehh para sarjana klasik seperti al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun, di mana mereka kemudian menuangkannya dalam bentuk skema-skema klasifikasi yang menghubungkan antara informasi, ilmu pengetahuan dan kebijakan. Mereka paham betul bahwa masing-masing fakta atau satuan-satuan informasi tidak dihimpun secara terpisah; semua itu bermakna hanya apabila dalam kerangka ilmu pengetahuan tentang masyarakat; dan manakala keduanya disintesakan secara benar maka akan menghasilkan kebijakan (Sardar, 1988: 32 - 33). Anekdot dari Maulana Rumi di bawah ini merupakan ilustrasi yang dengan jelas membedakan ketiga konsep informasi, ilmu pengetahuan dan kebijakan sebagaimana dimaksudkan di atas.

Empat orang sahabat menemukan sekeping mata uang. Orang pertama, seorang Persia, berkata, " Dengan mata uang ini aku akan membeli 'anggur'". Orang kedua, seorang Arab, menyatakan keberatannya, "Tidak, kita harus membeli 'inab'". Orang ketiga, seorang Turki, mengatakan, "Aku tidak ingin 'inab', aku menginginkan 'uzum'". Sementara itu, yang terakhir, seorang Yunani, mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada apa yang ditawarkan oleh tiga orang sahabat sebelumnya. "Aku", katanya, "ingin 'stafili'".

Maulana menceritakan bahwa karena keempat orang sahabat itu tidak mengetahui arti di balik apa yang dikatakan masing-masing, mereka kemudian terlibat dalam perteng-karan. Mereka memiliki informasi, tetapi tidak memiliki pengetahuan.

Ketika pertengkaran sedang memuncak, lewatlah seorang yang bijaksana. Orang ini kemudian mendamaikan para sahabat yang sedang bertengkar itu, dan berkata, "Aku bisa memenuhi keinginan kalian semuanya dengan uang yang kalian temukan itu. Syaratnya, kalian harus percaya dengan penuh hati. Sekeping uang ini akan menjadi empat, dan kalian berempat akan rukun kembali". Demikianlah, orang bijak itu kemudian pergi dan membeli buah anggur. Begitu ia kembali, keempat orang sahabat itu menjadi gembira. Ternyata, semua mereka, dengan bahasanya masing-masing, telah menyatkan kebutuhannya akan hal yang sama, yaitu anggur (Sardar, 1988: 33 - 34).

`Dalam kerangka ini, maka tugas kita sebagai da'i adalah menciptakan dan menyampaikan informasi yang telah terbentuk dalam satu kesatuan ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakatnya. Seorang da'i diharapkan tidak menyampaikan informasi-informasi yang masih terpisah yang masyarakat mesti harus merangkainya lebih dahulu kepada pengertian atau maksud yang bisa dipahami, atau mereka justru langsung menerima informasi-informasi itu yang kemudian mereka menjadi bingung.

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam rangka meyakinkan tentang akan terwujudnya suatu effek (manfaat) dari informasi atau pesan yang disampaikan kepada orang atau masyarakat sasarannya. Pertama, sebuah pesan akan sangat dimungkinkan berhasil manakala ia sesuai dengan pola-pola pengertian, sikap, nilai dan tujuan yang terdapat pada pihak penerima; atau paling tidak manakala pesan itu berangkat dari pola yang dimiliki oleh masyarakat yang dituju. Kedua, bahwa keberhasilan suatu proses penyampaian pesan adalah bergantung kepada empat unsur yang ada di dalamnya di mana pesan atau informasi hanya merupakan salah satu dari unsur penting yang ikut menentukan keberhasilan penyampaian pesan; dan hanya pada pesan yang disampaikan inilah seorang da'i dapat mengendalikannya. Sedangkan unsur penting lainnya adalah situasi di mana pesan itu diterima dan di mana tanggapan akan muncul, keadaan peribadi si penerima serta hubungan dan taraf kelompoknya (Schramm, 1981: 59 - 61).

Pada level ini, masyarakat telah siap menkonsumsi informasi itu untuk kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Hal ini tidak lain karena apa yang mereka terima sudah dalam bentuk pengetahuan yang siap pakai dan memang sudah dipersiapkan untuk masyarakat tersebut.

3. Menyaring Informasi

Berhubung informasi Barat yang berkenaan dengan Dunia Muslim cukup banyak dan sering tidak menguntungkan terhadap Dunia Muslim, masih berkenaan dengan penciptaan informasi yang cocok dengan masyarakat yang dituju, ada beberapa hal yang baik untuk diketahui. Apabila kita berangkat dari pengertian komunikasi yang berarti "berbagi informasi atau saling mengambil manfaat diantara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi" (Kincaid & Schramm, 1981: 6), maka ada tiga hal yang harus kita lakukan:

a. meluruskan berita tentang ajaran dan ummat Islam,

b. meluruskan laporan tentang karya-karya dan prestasi ummat Islam, dan

c. meluruskan opini tentang Islam.

c.

Kita tahu banyak orang Islam Indonesia, misalnya, tidak mengetahui pembataian kaum muslimin di India, nasib saudara-saudara kita di Filipina; dan pada saat yang sama kaum muslimin di luar negeri juga tidak banyak mengetahui keadaan kaum muslimin dan ummat Islam di Indonesia. Hal ini tidak lain karena, berdasarkan hasil penemuan Lazarsfeld menunjukkan bahwa media massa hanya merupakan:

a. multiplier (pelipat ganda) dan penyebar ide secara meluas, horizontal;

b. re-inforcer (penguat), artinya hanya akan didengar apabila sependapat dengan pendapat masyarakat sasarannya. (Susanto, 1974: 418).

b.

Apa yang mereka terima dari Dunia Non-muslim seorang da'i harus siap menyaringnya kemudian ditata dalam bentuk pengetahuan yang cocok dengan masyarakatnya. Karena kita tahu bahwa sebenarnya pesan atau informasi yang datang dari media massa hanya akan sampai pada taraf pemberian pengetahuan; sedangkan perubahan perilaku akan muncul manakala telah melalui proses komunikasi antar peribadi, antara tokoh masyarakat (opinion leader) dengan masyarakatnya (Rogers, 1985: 17) Seorang tokoh masyarakat di sini "mempunyai kemampuan mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang secara informal sesuai dengan kehendak sipemimpin melalui hubungan sosial yang dibinanya" (Rogers, 1985: 21). Pada bagian ini perlu dipikirkan “kelompencapir” (kelompok pendengar dan pemirsa) pembangunan keagamaan.

Oleh karena itu yang menjadi masalah pokok bagi negeri-negeri muslim bukanlah alih informasi semata, melainkan penciptaan informasi yang cocok di dunia muslim itu sendiri. Hal ini juga berarti bahwa negeri-negeri muslim harus cukup banyak menambah anggaran untuk riset dan pengembangan ke arah itu (Sardar, 1988: 154)

4. Membina Ummat

Di dalam dakwah dikenal istilah-istilah seperti tabligh, ta'lim dan dakwah itu sendiri. Pada uraian di atas telah diketahu adanya perbedaan antara komunikasi dan dakwah; pada dakwah, tabligh dan ta'lim juga akan ditemui adanya perbedaan antara ketiganya, kalau kita mau menelaah secara jeli.

Dakwah yang berarti mengajak, dalam suatu orgnisasi kemasyarakatan Islam masuk pada Lembaga Dakwah yang forumnya disebut majlis dakwah. Kommunikatornya yang bernama da'i, dia harus telah mengamalkan ajakan yang akan disampaikan, minimal sesudah dia mengajak sasarannya. Kalau tidak, Allah akan menancamnya seperti tertera dalan ayat 3 dari surat Shaaf.

Berbeda dengan tabligh, ia sifatnya hanya menyampaikan apa yang ada dalam Islam, menampakkan, menampilkan dan memaparkan tantang segala sesuatunya tentang Islam, sedangkan majlisnya dapat berupa festival, eksposisi dan bentuk penampilan Islam yang lain.

Ta'lim berupa pengajaran dari seorang yang punya atau lebih tentang pengetahuan Islam kepada orang yang belum atau sedikit pengetahuan tentang Islam, misalnya seorang kiai kepada santrinya, seorang ustazd kepada muridnya, sedangkan majlisnya kita kenal dengan majlis ta'lim.

Dari penjelasan di atas, dapat kita bedakan di antara ketiganya bahwa dakwah arahnya ke dalam, kepada ummat Islam; ta'lim arahnya juga ke dalam, kepada ummat Islam sendiri sebagai satu peningkatan; sedangkan tabligh arahnya ke luar, kepada khalayak umum dan sebenarnya juga masuh di dalmnya Ummat Islam yang masih awam, sebagai satu pemantapan. Pada kategori yang terakhir inilah kita harus banyak membenahi diri.

Bila dalam dakwah penekannya pada informasi dan penyediaannya, maka konteks dan kompleksitas proses komunikasi terabaikan. Image konvensional tentang proses komunikasi yang dominan di dalam ilmu informasi, adalah model satu arah, bertujuan, vertikal dan atas bawah. Kita tahu bahwa komunikasi bukan sekedar penampakan dan alih informasi, tetapi menyangkut pemberian makna yang sama terhadap pesan-pesan komunikasi.

Suatu model yang lebih canggih tentang proses komunikasi dilukiskan oleh peribahasa sufi kuno: Adakah sebuah suara di hutan jika sebuah pohon tumbang dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya ? jawaban yang benar atas pertanyaan ini, tentu saja adalah: tidak. Rubuhnya pohon tidak menimbulkan suara jika tidak ada seorang pun yang mendengar (mencerap) nya. Pencerapan merupakan komponen utama komunikasi. Dengan demikian, jika tidak ada seorang pun yang mendengarnya, komunikasi pun tidak ada; dan kita hanya bisa memahami dalam batas-batas pengalaman kita sendiri. Akhirnya, komunikasi hanya menurut penerimanya. Ia berpengaruh jika komunikasi sesuai dengan harapan dan asprasi, etika dan nilai serta maksud dan tujuan penerimanya (Sarrdar, 1988: 156 - 157).

Kemudian apa yang kita lakukan ? Sediakan dan sebarkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Islam dan ummat Islam (tabligh) dan binalah (dakwah dan ta'lim) ummat saudara kita dengan intensif, terutama shalat, agar tidak mudah menerima informasi-informasi yang tidak kita inginkan, dari luar Islam. Ini sifatnya pembentengan. "Sesungguhnya di dalam hal itu ada peringatan bagi orang yang (1) mempunyai hati, atau (2) menggunakan pendengarannya, sedang ia (3) memperhatikan" (QS, 50: 37).Pesan atau informasi akan berpengaruh manakala pesan atau informasi itu cukup menarik bagi penerimanya sehingga mereka mau mendengarkannya. Tetapi ingat bahwa keterlibatan seorang penerima pesan itu tidak menjamin munculnya suatu perubahan manakala apa yang mereka terima tidak sesuai dengan apa yang ada di hati mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Qur'an al-Karim

Abdul Baqi, Muhammad Fuad

1982 Al-Lu'lu Wal-Marjan, terj. H. Salim Bahreisy, Surabaya, Bina Ilmu.

Kincaid, D. Lawrance & Wilbur Schramm

1981 Asas-asas Komunikasi Antar Manusia, terj. Agus Setiadi, Jakarta, LP3ES.

Malik, Dedy Djamaluddin

1989 Peranan Pers Islam di Era Informasi, dalam Rusjdi Hamka dan Rofiq (ed.):

"Islam dan Era Informasi, Jakarta, Pustaka Panjimas".

Muis, A

1989 Media Massa Islam dan Era Informasi, dalam Rusjdi Hamka dan Rofiq (ed.):

Islam dan Era Informasi, Jakarta, Pustaka Panjimas".

Rogers, Everett M.

1985 Mass Media and Interpersonal Communication, edit. Drs. Eduard Depari dan

Dr. Colin MacAndrews: Mass Media dan Komunukasi Antar Peribadi, dalam

"Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan" Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Sardar, Ziauddin

1988 Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-first Century,

terj. A.E. Priyono dan Ilyas Hasan: "Tantangan Dinia Islam Abad 21,

Menjangkau Iformasi", Bandung, Mizan.

Schramm, Wilbur

1991 How Communicatio Works, Edit. Drs. Onong U. Effendy, MA: Bagaimana

Berlangsungnya Komunikasi, dalam Komunikasi dan Modernisasi", Bandung,

Alumni.

Susanto, Dr. Phil. Astrid S.

1974 Komunikasi Dalam Teori Dan Praktek, jilid II, Bandung, Bina Pustaka.

Toffler, Alvin

1990 The Third Wave, terj. Dra. Sri Koediyantina SB: "Gelom bang Ketiga" (Bagian

Kedua), Jakarta, Pantja Simpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar